19 September 2017

RITUAL GAIB MENOLAK BANJIR


Dengan melobi penguasa gaib bengawan Solo, maka segala bencana yang diakibatkan sungai ini bisa dicegah.

Terkait dengan bencana banjir yang selalu melanda warga di sekitar Bengawan Solo, baik KRHT Kresna Handayaningrat (Kresna) maupun Ki Gede Solo (salah satu spiritualis kota Solo), semuanya sepakat kalau penyebabnya karena mulai lunturnya spiritualitas dari masyarakat.  Lunturnya spiritualitas inilah yang kemudian berpengaruh pada sikap dan perilaku warga di sepanjang bengawan untuk tidak peduli lagi pada kondisi sungai ini.  Ketidak pedulian itu akhirnya diwujudkan dengan berbagai bentuk pengrusakan lingkungan di sekitarnya, terutama di daerah-daerah penyangga.  Akibatnya saat musim kemarau, debit air di sungai ini sangat minim.
Dan kondisi sebaliknya terjadi di saat musim hujan.  Debit air naik, hingga sungai meluap dan menenggelamkan seluruh kawasan di sekitarnya.  Tak hanya itu, kini tak ada lagi bentuk-bentuk ritual yang dulu kerap dilakukan warga di sekitar Bengawan Solo yang tujuannya untuk sekedar Caos Dahar kepada danyang penguasa sungai.  Cukup efektif, untuk menjaga keharmonisan hubungan antara kehidupan warga di sekitar sungai dengan makhluk gaib penguasa sungai.  Yang mana hal itu akan berdampak pada terhindarnya warga dari amukan penguasa Bengawan Solo yang bisa menenggelamkan segala sesuatu di sekitarnya.


Dan bila sudah terjadi banjir, maka permasalahan akan menjadi lebih rumit.  Karena pada dasarnya banjir adalah salah satu bencana yang sulit untuk ditangkal dengan prosesi-prosesi ritual tertentu.  Sebab sesuai dengan sifat alami air yang selalu mengisi tempat yang lebih rendah, maka banjir akan sulit diatasi bila debit air sudah melebihi batas maksimal dan kemudian meluap.  Namun demikian bukan berarti tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk sekedar mengantisipasi datangnya bencana tersebut.  Dengan bisa melobi para penguasa gaib di suatu tempat di sekitar sungai, amak kawasan itu kemungkinan besar akan bisa terselamatkan dari luapan banjir.  Dan fenomena seperti ini bukan hal yang aneh di masyarakat.  Sebab kerap kali bisa ditemui, beberapa tempat keramat bisa terhindar dari terjangan air bah atau banjir, meski secara logika tempat itu harusnya juga ikut menjadi korban.  “Inti dari ritual itu kan melobi penguasa gaib di tempat tertentu.  Tujuannya agar mereka bisa membantu menghindarkan warga di sekitarnya dari bencana yang akan melanda,” terang KRHT Kresna.



KOMITMEN BERSAMA
Meski begitu, Kresna dan Ki gede Solo juga mengingatkan bahwa hal terpenting yang harus dilakukan adalah merehabilitasi daerah-daerah penyangga termasuk daerah hulu tempat sumber Bengawan Solo berasal.  Proses rehabilitasi yang dimaksud adalah penghutanan kembali atau reboisasi.  Sebab dengan pulihnya lagi kawasan-kawasan vital di sekitar Bengawan Solo, maka ancaman dari sungai ituu akan bisa diminimalisir.  Nah, dalam proses pemulihan kembali hutan-hutan yang rusak itu, Kresna mengatakan perlu diiringi dengan ritual yang disebutnya dengan ritual Dasa Bena, yang dilakukan di pusat sumber air Bengawan Solo.  Dalam hal ini terletak di daerah Dlepih, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.  Ritual ini pada dasrnya hanya berupa selamatan biasa dengan sesajian yang umum dipakai.  Hanya saja yang terptenting adalah kehadiran dari tiap-tiap kepala daerah dari wilayah yang dilewati sungai ini.

Kehadiran para kepala daerah ini penting, karena menyangkut komitmen bersama untuk menjaga eksistensi sungai terpanjang di Pulau Jawa itu.  Di dalamnya ada prosesi pengambilan sumpah dari seluruh kepala daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan selamatan dan penanaman pohon di lokasi ritual.  Yang mana penanaman ini pun juga harus dilakukan oleh tiap-tiap kepala daerah, untuk kemudian diikuti oleh seluruh orang yang hadir pada ritual tersebut.  “Bengawan solo ini kan setidaknya melewati sepuluh Kabupaten (Wonogiri, Sukoharjo, Solo, Sragen, Blora, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik).  Karena itu masing-masing orang yang berkuasa di tempat itu dalam hal ini bupati atau walikota harus bertanggung jawab sepenuhnya pada kondisi sungai ini.  Makanya sebagai simbol kepedulian itu, mereka harus menyempatkan diri untuk berkumpul bersama guna mengadakan ritual Dasa Bena,” urainya.  

Dan sebagai bagian dari sebuah ekosistem, keberadaan Bengawan Solo juga tidak bisa lepas dari pengaruh daerah-daerah lain yang menjadi penyangga.  Meski tidak dilewati secara langsung, daerah-daerah tersebut memiliki peran cukup penting dalam kelestarian Bengawan Solo.  Selain itu, saat sungai ini meluap dan menimbulkan banjir, daerah-daerah penyangga itu pasti juga akan terkena dampak luberan airnya.  Karena itu bagi beberapa daerah penyangga, seperti Boyolali, Klaten, Karanganyar, Madiun, Magetan serta beberapa daerah lain, perlu untuk berperan aktif dalam menjaga kelestariang lingkungan yang ada.  Sebab debit air dari sungai ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dari daerah-daerah tersebut.  Khusus untuk daerah-daerah penyangga ini, Kresna juga menyebutkan perlu diadakan sebuah ritual yang mengiringi program perbaikan lingkungannya.  Ritual yang dimaksud disini adalah ritual Sapta Cipta.  Proses dari ritual ini juga nyaris sama dengan ritual Dasa Bena.  Pun demikian dengan sesaji yang dipakai dalam selamatan.  Hanya saja bedanya, untuk ritual yang satu ini diadakan di masing-masing daerah tersebut.  “Pada dasarnya ritual ini adalah bagian dari doa dan harapan agar niat tulus memulihkan kondisi lingkungan yang rusak, bisa didengar Tuhan.  Sehingga lingkungan yang ada bisa kembali dipulihkan seperti sedia kala.  Karena biar bagaimanapun, sebuah usaha perlu disertai dengan doa, agar hasil yang didapat bisa benar-benar sempurna,” jelas spiritualis asal Keraton Surakarta Hadiningrat ini.

Sedangkan untuk upaya menangkal banjir secara gaib, Kresna mengaku belum pernah melakukannya. Hanya saja bentuk ritual yang nyaris sama, dia mengaku beberapa kali melakukannya yaitu menangkal datangnya bencana tanah longsor dan air bah di daerah lereng gunung Lawu.  Ritual yang dimaksud adalah ritual Pepak Agung.  Prosesi dari ritual ini sendiri terbilang cukup sederhana. Menurut pengakuannya, dia hanya berdoa di sebuah pepunden  di lereng gunung tersebut untuk selanjutnya disambung dengan kenduri bersama warga disana.  Hanya saja yang membedakan dengan ritual-ritual biasa adalah sesaji yang dipakai di dalamnya.  Dalam ritual itu disajikan berbagai macam sajian lengkap yang kemudian di kumpulkan di pendopo dan dimakan bersama.

Majalah Liberty
@phna2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan sesuai topik pembahasan.